DI THS-THM SILAT HANYA SARANA, BUKAN TUJUAN
Oleh Franz A. Thomas Ire di KELUARGA BESAR THS-THM (File) ·
(oleh: Prasetyo Yudono, anggota Dewan Pendiri THS-THM)
Ketika saya menulis THS-THM tidak mengajarkan Tenaga Dalam saya tahu
statement itu akan bikin "heboh" dan kecewa banyak orang. Meskipun
“mengecewakan” hal tersebut harus dinyatakan supaya anggota THS-THM
tidak “tersesat” mencari hal-hal yang bukan menjadi tujuan THS-THM.
THS-THM didirikan sebagai... ajang/wadah kegiatan putra-putri Gereja mengembangkan diri menjadi “pendekar” Katolik sejati.
Kenapa silat? Jawabannya sederhana: Silat mempunyai unsur lengkap untuk
mengolah jiwa dan raga. Di silat ada latihan gerak, napas,
konsentrasi, mental, spiritual. Silat juga merupakan budaya asli
Indonesia yang sudah terbukti efektif (“proven”) sebagai metode
pendidikan/pembentukan ksatria bangsa dari jaman dahulu kala. Para
ksatria/pendekar ini menjadi pilar kebesaran Sriwijaya, Singosari,
Majapahit, dst. yang kejayaannya menggentarkan dunia.
Hasil yang ingin diperoleh dari pelatihan silat bukanlah “kesaktian”
nya tetapi lebih pada mental/jiwa kependekaran-nya. Jaman sekarang
“kesaktian” fisik itu sudah tidak relevan. Sesakti-saktinya seorang
pendekar silat jaman sekarang diberondong pakai M 16 ya bablas…;-)
Sama halnya bangsa Jepang yang dikenal punya banyak jagoan (samurai)
juga “klipuk” ketika dijatuhi bom atom oleh tentara Amerika. Tetapi
kemudian terlihat bahwa mental/jiwa samurai yang dikenal dengan
semangat “Bushido” mampu membawa bangsa Jepang bangkit, fight,
menggapai kejayaannya sebagai bangsa yang kuat, maju dan makmur di
dunia.
Seandainya orang Indonesia punya semangat “Bushido” seperti orang
Jepang, mestinya sekarang ini Indonesia jauh lebih maju dari Jepang.
Mengapa? Karena Indonesia punya sumberdaya yang jauh melimpah dibanding
Jepang. Kita punya minyak, gas, aneka tambang, hutan, sawah dan
ratusan juta sumber daya manusia yang jauh lebih besar daripada Jepang.
Sayangnya kita punya semangat/mentalitas jauh di bawah Jepang. Contoh
sederhana: Kalau di Jepang ada pejabat ketahuan terima hadiah tidak
wajar aja mereka mundur, bahkan ada yang bunuh diri. Di Indonesia udah
ketahuan korupsi ratusan milyar masih cengengas-cengenges, bermuka
badak, nggak tahu malu.
Jadi semangat/mentalitas suatu bangsa lah yang menentukan
kemajuan/kejayaan bangsa tersebut. Dahulu kala bangsa Indonesia
terbukti memiliki semangat/mentalitas unggulan yang tertanam dalam diri
ksatria2 Majapahit yang sangat disegani dari ujung Papua sampai tanah
Campo (Kamboja). Sekali lagi bukan kesaktiannya tetapi semangatnya
seperti yang dicontohkan Mahapatih Gadjah Mada yang tak akan memakan
buah Palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara.
Semangat baja, militant, pantang menyerah, tidak berhenti sebelum
tercapai tujuan itu yang ingin dibangun THS-THM melalui latihan silat.
Jadi silat di THS-THM itu hanya digunakan sebagai sarana/metode untuk
membangun semangat/jiwa kependekaran anggotanya. Bukan untuk membangun
kesaktian! Lha kalau setelah latihan lama anggota jadi sakti… itu
namanya bonus. Apakah anggota THS-THM tidak boleh menjadi sakti? Ya
boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai motivasi menjadi sakti ini
"mengalihkan" anggota THS-THM dari tujuan utama membangun semangat
kependekaran. Motivasi menjadi sakti ini jangan sampai menggelapkan mata
dan hati anggota THS-THM menjadi “ngawur” dalam bertindak dan
mengambil resiko.
Menjaga diri dari gelap mata dan hati ini memang tidak gampang
dilakukan terlebih karena anggota THS-THM kebanyakan masih muda, penuh
gejolak dan emosi, lagi mencari jati diri, ingin tampil dan dianggap
hebat. Biar bonyok yang penting keren abis… begitu kira2 semboyan
remaja (dari dulu sampai sekarang).
Saya masih ingat waktu di awal berdirinya THS-THM banyak anggota yang
bertanya: “Mas, tenaga olah napas itu bisa disalurkan ke kepala?” Kita
jawab: “Ya bisa saja… Tetapi nggak usah lah kalian mecah2in tegel pakai
kepala… buat apa?” Besoknya aksi mecah tegel pakai kepala malah jadi
trend…:-( Anggota THM justru banyak yang pasang aksi…:-)
Padahal maksud kami menghimbau itu demi kebaikan anggota. Pemecahan
benda keras itu kan upaya penyaluran dan konsentrasi tenaga yang tidak
mudah. Perlu dilakukan dengan teknik yang benar. Kalau keliru resikonya
bukan bendanya yang pecah tapi anggota tubuh kita yang bengkak, memar,
luka. Lha kalau mecahnya pakai tangan resiko yang bengkak tangan,
masih “manageable”, diurut sebentar, kasih param, besok sembuh. Lha
kalau mecahnya pakai kepala, resikonya gegar otak.
Yang lebih “parah” lagi ada anggota dengar cerita dari siapa atau baca
novel Kho Ping Ho atau Senapati Pamungkas-nya Arswendo lalu
membayang-mbayangkan dirinya punya “kesaktian” seperti yang dimiliki
tokoh-tokoh silat tersebut. Tidak heran kalau kemudian muncul
istilah-istilah aneh2 seperti “pukulan salju”, “tenaga cakra”, dsb.
Hal-hal begini yang membuat anggota THS-THM “tersesat” dalam belajar
silat. Tujuan berlatih silat tidak lagi untuk membangun mental/semangat
kependekaran, tetapi mencari kesaktian. Padahal yang kita perlukan itu
mental/semangat kependekarannya BUKAN kesaktiannya.
Berbekal mental/semangat kependekaran anggota THS-THM bisa diharapkan
menjadi pebisnis yang tangguh, politisi yang utama, pendidik yang
mulia, dsb. Orang-orang yang begini ini yang diperlukan bangsa dan
negara ini.
Mengejar kesaktian justru bisa membuat anggota THS-THM terjebak pada kesombongan, kemegahan diri.
Selamat berlatih. Tetap semangat. Tetap rendah hati.
0 komentar :
Posting Komentar